1. Ketuhanan Yang
Maha Esa
2. Kemanusiaan yang
adil dan beradab
3. Persatuan
Indonesia
4. Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia
Sedangkan secara
entitas, Pancasila itu sendiri pada hakekatnya ia adalah nilai (Kaelan, 2002).
Nilai atau value adalah sesuatu yang berharga, berguna bagi kehidupan manusia.
Nilai memiliki sifat sebagai realitas yang abstrak, normatif dan berguna
sebagai pendorong tindakan manusia. Kelima sila, asas atau prinsip Pancasila di
atas dapat dikristalisasikan ke dalam lima nilai dasar yaitu nilai KeTuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan.
Pancasila yang berisi
lima nilai dasar itu ditetapkan oleh bangsa Indonesia sebagai dasar negara dan
ideologi nasional Indonesia sejak tahun 1945 yaitu ketika ditetapkan Pembukaan
UUD NRI oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Kedudukannya sebagai
dasar negara dan ideologi nasional ini dikuatkan kembali melalui Ketetapan MPR
RI No. XVIII/ MPR/1998 yang mencabut Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang P4
sekaligus secara eksplisit menetapkan Pancasila sebagai dasar negara
(Yudhoyono, 2006:xvi). Pancasila sebagai dasar negara berkonotasi yuridis,
sedang Pancasila sebagai ideologi dikonotasikan sebagai program sosial politik
(Mahfud MD, 1998 dalam Winarno, 2010). Pancasila telah menjadi dasar filsafat
negara baik secara yuridis dan politis (Kaelan, 2007:12).
Pancasila sebagai
dasar negara dapat ditinjau dari aspek filosofis dan yuridis. Dari aspek
filosofis, Pancasila menjadi pijakan bagi penyelenggaraan bernegara yang
dikristalisasikan dari nilai-nilainya. Dari apek yuridis, Pancasila sebagai
dasar negara menjadi cita hukum (rechtside) yang harus dijadikan dasar dan
tujuan setiap hukum di Indonesia. Politik pembangunan hukum di Indonesia dengan
kerangka nilai Pancasila memiliki kaidah kaidah penuntunnya.
Pancasila sebagai
sumber dan kaidah penuntun hukum itu selanjutnya dituangkan di dalam peraturan
perundang-undangan sebagai sumber hukum formal. Jalinan nilai nilai dasar
Pancasila dijabarkan dalam aturan dasar (hukum dasar) yaitu UUD 1945 dalam bentuk
pasal-pasal yang mencakup berbagai segi kehidupan berbangsa dan bernegara
Indonesia. Aturan-aturan dasar dalam UUD 1945 selanjutnya dijabarkan lagi dalam
undang-undang dan peraturan dibawahnya. Hieraki hukum Indonesia yang terbentuk
ini berbentuk piramida yang dapat dilihat dan sejalan dengan Stufenbautheorie
(teori jenjang norma) dari Hans Kelsen, dimana Pancasila sebagai Grundsnorm
berada di luar sistem hukum, bersifat meta yuristic tetapi menjadi tempat
bergantungnya norma hukum.
Pada posisinya sebagai
ideologi nasional, nilai-nilai Pancasila difungsikan sebagai nilai bersama yang
ideal dan nilai pemersatu. Hal ini sejalan dengan fungsi ideologi di masyarakat
yaitu: Pertama, sebagai tujuan atau cita-cita yang hendak dicapai secara
bersama oleh suatu masyarakat. Kedua, sebagai pemersatu masyarakat dan
karenanya sebagai prosedur penyelesaian konflik yang terjadi di masyarakat
(Ramlan Surbakti, 1999 dalam Winarno, 2010). Dalam kaitannya dengan yang
pertama nilai dalam ideologi itu menjadi cita-cita atau tujuan dari masyarakat.
Tujuan hidup bermasyarakat adalah untuk mencapai terwujudnya nilai-nilai dalam
ideologi itu.
Sedangkan dalam
kaitannya yang kedua, nilai dalam ideologi itu merupakan nilai yang disepakati
bersama sehingga dapat mempersatukan masyarakat itu serta nilai bersama
tersebut dijadikan acuan bagi penyelesaian suatu masalah yang mungkin timbul
dalam kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Pancasila sebagai ideologi
nasional ini dapat dipandang dari sisi filosofis dan politis. Dari aspek filosofis,
nilai-nilai Pancasila menjadi dasar keyakinan tentang masyarakat yang
dicita-citakan (fungsi pertama ideologi). Dari aspek politik Pancasila
merupakan modus vivendi atau kesepakatan luhur yang mampu mempersatukan
masyarakat Indonesia yang majemuk dalam satu nation state atas dasar prinsip
persatuan (fungsi kedua ideologi). Pancasila menjadi nilai bersama atau nilai
integratif yang amat diperlukan bagi masyarakat yang plural.
1. Pancasila Dalam
Politik Pendidikan Nasional
Dalam konteks
pendidikan nasional, tidak dapat dipungkiri bahwa Pancasila sebagai ideologi
bangsa mengalami fluktuasi tafsiran dari setiap rezim yang berkuasa, bukan
hanya masa orde baru yang selama ini kita anggap sebagai rezim yang paling
getol memberikan tafsir tetapi juga sudah dimulai sejak rezim pemerintahan
presiden Soekarno pada masa orde lama (Samsuri, 2009).
Pada tahun
1959/1960-an ketika gegap gempita Demokrasi Terpimpin begitu kuat di panggung
politik ketika itu, telah diperkenalkan mata pelajaran Civics dalam dunia pendidikan
Indonesia. Hal ini ditandai dengan adanya satu buku terbitan Departemen
Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PP&K) yang berjudul “Civics: Manusia
Indonesia Baru,” karangan Mr. Soepardo, dkk. Materi buku itu berisi tentang
Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia; Pancasila; UUD 1945; Demokrasi dan Ekonomi
Terpimpin; Konferensi Asia-Afrika, Hak dan Kewajiban Warga Negara, Manifesto
Politik; Laksana Malaikat; dan lampiran-lampiran Dekrit Presiden 5 Juli 1959,
Pidato Lahirnya Pancasila, Panca Wardana, dan Declaration of Human Rights;
serta pidato-pidato lainnya dari Presiden Sukarno dalam “Tujuh Bahan Pokok
Indoktrinasi” (Tubapi) (Muchson, 2004:30). Buku “Civics” dan Tubapi tersebut
kemudian menjadi sumber utama mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan di sekolah-sekolah,
dengan ciri indoktrinasi yang sangat dominan.
Perkembangan
berikutnya, mata pelajaran “Civics” yang kemudian diganti menjadi “Kewargaan
Negara” pada 1962, pada Kurikulum 1968 ditetapkan secara resmi menjadi
“Pendidikan Kewargaan Negara.” Di dalam kurikulum ini, penjabaran ideologi
Pancasila sebagai pokok bahasan dianggap mengedepankan kajian tata negara dan
sejarah perjuangan bangsa, sedangkan aspek moralnya belum nampak (Aman, dkk.,
1982:11).
Pada masa orde baru,
tafsir ideologis negara dalam bidang pendidikan mulai menampakkan kekuatannya
ketika secara formal, GBHN 1973 menyebut perlunya: “Kurikulum di semua tingkat
pendidikan …berisikan Pendidikan Moral Pancasila….” Apabila dicermati, nampak
jelas bahwa Pancasila ditafsirkan dalam masing-masing pokok bahasan, sub pokok
bahasan, dan bahan pengajaran, dengan nuansa Civics Kurikulum 1968.
Materi tafsir
ideologi nasional dalam PMP makin indoktrinatif ketika MPR telah menetapkan
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). P4 ini mengharuskan setiap
warga negara dan aparatur negara untuk melaksanakannya. Dalam lapangan
pendidikan, P4 ini menjadi “roh” dan “mata air” dari mata pelajaran PMP sampai
dengan diubah namanya menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn)
pada Kurikulum 1994.
Istilah PPKn lebih
dikuatkan dan ditegaskan dengan keluarnya keputusan Mendikbud No. 061/U/1993
tenang Kurikulum Pendidikan Dasar dan Kurikulum Sekolah Menengah Umum yang
antara lain menyebutkan bahwa PPKn adalah mata pelajaran yang digunakan untuk
wahana mengembangkan dan melestarikan nilai luhur dan moral yang berakar pada
budaya bangsa Indonesia.
Selama periode Orde
Baru, pendidikan sebagai instrumen pembentukan karakter warga negara
menampakkan wujudnya dalam standarisasi karakter warga negara. yang disajikan
dalam mata pelajaran PMP dan atau PPKn dengan memasukan secara membabi-buta
tafsir Pancasila menurut P4. Pancasila direduksi menjadi 36 butir tafsir
pengamalan nilai-nilai Pancasila. P4 inilah yang kemudian menjadi keharusan
pedoman atau arah tingkah laku warga negara.
Meskipun Ketetapan
MPR No. II/MPR/1978 Pasal 1 menjelaskan bahwa “Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila tidak merupakan tafsir Pancasila sebagai Dasar Negara
sebagaimana tercermin dalam Pembukaan UUD 1945, Batang Tubuh dan
Penjelasannya,” tetapi P4 menjadi kelihatan lebih penting dari Pancasila itu
sendiri. Lebih jauh, P4 dan Pancasila menjadi “kata sakti” dalam segenap
kesempatan pejabat dari tingkat pusat hingga lokal dalam forum-forum formal
maupun non formal (Samsuri, 2009).
Dari gambaran
tersebut, nilai-nilai yang menjadi materi pokok pembelajaran PMP ataupun PPKn
berasal dari “atas” (rejim yang sedang berkuasa), bukan dari kehendak
masyarakat pendidikan (arus bawah). Konsekuensinya nilai-nilai yang menjadi
model materi pembelajaran pun cenderung hipokrit dan jauh dari aspirasi ilmiah
(keilmuan), sehingga PMP ataupun PPKn terkesan tidak jauh beda dengan mata
pelajaran Civics atau pun Kewargaan Negara pada masa rejim Soekarno 1960an
(Samsuri, 2009).
Dewasa ini, sejalan
dengan berlakunya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, maka
mata pelajaran PPKn diganti dengan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Dalam
Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang standar isi, mata pelajaran pendidikan
kewarganegaraan diartikan sebagai Mata pelajaran yang memfokuskan pada
pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan
kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan
berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945 (Permendiknas RI No.
22 Tahun 2006).
Tujuan Ppkn ini
adalah untuk mewujudkan para siswa untuk memiliki kemampuan:
1. Berpikir secara
kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan.
2. Berpartisipasi
secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti-korupsi.
3. Berkembang secara
positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter
masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya.
4. Berinteraksi
dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak
langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (Lampiran
Permendiknas RI No. 22 Tahun 2006:272, 280, 287).
Untuk mencapai tujuan
pembelajaran PKn tersebut, delapan materi pokok standar isi mata pelajaran PKn
di Indonesia untuk satuan pendidikan dasar dan menengah memuat komponen sebagai
berikut: (1) Persatuan dan Kesatuan Bangsa; (2) Norma, Hukum dan Peraturan; (3)
Hak Asasi Manusia; (4) Kebutuhan Warga Negara; (5) Konstitusi Negara; (6)
Kekuasan dan Politik; (7) Pancasila; dan, (8) Globalisasi. Menurut Samsuri
(2011), jika dipilah-pilah dari kedelapan materi pokok ke dalam standar
kompetensi dan kompetensi dasarnya, maka dimensi pembelajarannya mencakup aspek
kajian (1) Politik Ketatanegaraan; (2) Hukum dan Konstitusi; dan, (3) Nilai
Moral Pancasila. Sedangkan untuk materi tentang Pancasila menurut ketentuan
standar isi tersebut dijabarkan ke dalam beberapa sub materi, yaitu: (1)
Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara, (2) Proses
perumusan Pancasila sebagai dasar negara, (3) Pengamalan nilai-nilai Pancasila
dalam kehidupan sehari-hari, dan (4) Pancasila sebagai ideologi terbuka.
Pada jenjang
perguruan tinggi, pernah ada mata kuliah Manipol dan USDEK, Pancasila dan UUD
1945 (sekitar tahun 1960-an), Filsafat Pancasila (tahun 1970-an sampai
sekarang), Pendidikan Kewiraan (1989-1990-an) dan Pendidikan Kewarganegaraan
(2000 sampai sekarang). Proses pembelajaran Pendidikan Pancasila yang dijadikan
rujukan dalam proses pembudayaan nilai-nilai Pancasila di kalangan mahasiswa
cenderung bersifat indoktrinatif yang hanya menyentuh aspek kognitif sedangkan
aspek sikap dan perilaku belum tersentuh (Cipto, at all, 2002:ix).
Substansi mata kuliah
Ke¬wira¬an sebagai pendidikan bela negara direvisi dan selanjutnya namanya
diganti menjadi PKn berdasarkan Kepu¬tusan Dirjen Dikti No. 267/Dikti/2000
tentang Penyempurnaan Kurikulum. Substansi mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan makin disempurnakan dengan keluarnya Surat Keputusan Dirjen
Dikti No. 38/Dikti/2002 dan Surat Keputusan Dirjen Dikti No. 43/Dikti/2006
tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Mata Kuliah pengembangan Kepribadian di
Perguruan Tinggi.
Menurut Pasal 3
Keputusan Dirjen Dikti tersebut, PKn dirancang untuk memberikan pengertian
kepada mahasiswa tentang pengetahuan dan kemampuan dasar berkenaan dengan
hubungan antar warga negara serta pendidikan pendahuluan bela negara sebagai
bekal agar menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara.
Sedangkan dalam Pasal 4 Keputusan Dirjen Dikti tersebut menyebutkan bahwa
tujuan PKn di perguruan tinggi adalah sebagai berikut:
1. Dapat memahami dan
mampu melaksanakan hak dan kewajiban secara santun, jujur dan demokratis serta
ikhlas sebagai warga negara terdidik dalam kehidupannya selaku warga negara
republik Indonesia yang bertanggung jawab.
2. Menguasai
pengetahuan dan pemahaman tentang beragam masalah dasar kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang hendak diatasi dengan penerapan
pemikiran yang berlandaskan pancasila, wawasan nusantara dan ketahanan nasional
secara kritis dan bertanggung jawab.
3. Mempupuk sikap dan
perilaku yang sesuai denan nilai-nilai kejuangan serta patriotisme yang cinta
tanah air, rela berkorban bagi nusa dan bangsa.
Berdasarkan Surat
Keputusan Dirjen Dikti No. 43/Dikti/2006 obyek pembahasan¬ Pendidikan
kewarganegaraan ialah: Filsafat Pencasila, Identitas Nasional, Negara dan
Konstitusi, Demokrasi Indonesia, HAM dan Rule of Law, Hak dan Kewajiban Warga
Negara, Geopolitik Indonesia, dan Geostrategi Indonesia. Dengan demikian, jika
dicermati pendidikan kewarganearaan di perguruan tinggi memuat kajian Pancasila
yaitu dalam bab Filsafat Pancasila yang dikembangkan menjadi beberapa sub bab.
2. Pembudayaan
Nilai-nilai Pancasila melalui Pendidikan Kewarganegaraan
Berdasarkan kajian
Pancasila dalam politik pendidikan di atas, kita menemukan bahwa proses
pembudayaan nilai-nilai Pancasila dapat dilakukan melalui pembelajaran PKn.
Secara umum hasil-hasil penelitian tentang PKn di berbagai negara sesungguhnya
menyimpulkan bahwa PKn mengarahkan warga negara itu untuk mendalami kembali
nilai-nilai dasar, sejarah, dan masa depan bangsa bersangkutan sesuai dengan
nilai-nilai paling fundamental yang dianut bangsa bersangkutan.
Dari perspektif teori
fungsionalisme struktural, sebuah negara bangsa yang majemuk seperti Indonesia
membutuhkan nilai bersama yang dapat dijadikan nilai pengikat integrasi
(integrative value), titik temu (common denominator), jati diri bangsa
(national identity) dan sekaligus nilai yang dianggap baik untuk diwujudkan
(ideal value). Nilai bersama ini tidak hanya diterima tetapi juga dihayati.
Dalam pandangan teori kewarganegaraan communitarian, sebuah komunitas politik
bertanggung jawab memelihara nilai-nilai bersama (common values) tersebut dalam
rangka mengarahkan individu (Winarno, 2010). Melalui Ppkn nilai-nilai bersama
yang merupakan komitmen sebuah komunitas diinternalisasikan sehingga tumbuh
penghayatan terhadapnya.
Dalam kepustakaan
asing ada dua istilah teknis yang dapat diterjemahkan menjadi pendidikan
kewarganegaraan yakni civic education dan citizenship education. Cogan (1999:4)
mengartikan civic education sebagai “…the foundational course work in school
designed to prepare young citizens for an active role in their communities in
their adult lives”, atau suatu mata pelajaran dasar di sekolah yang dirancang
untuk mempersiapkan warga negara muda, agar kelak setelah dewasa dapat berperan
aktif dalam masyarakatn¬ya. Sedangkan citizenship education atau education for
citizenship oleh Cogan (1999:4) digunakan sebagai istilah yang memiliki
pengertian yang lebih luas yang mencakup “…both these in-school experiences as
well as out-of school or non-formal/informal learning which takes place in the
family, the religious organization, community organizations, the media,etc
which help to shape the totali¬ty of the citizen”.
Di sisi lain, David
Kerr (1999) mengemukakan bahwa Citizenship or Civics Education is construed
broadly to encompass the preparation of young people for their roles and
responsibilities as citizens and, in particular, the role of education (through
schooling, teaching and learning) in that preparatory process. (Kerr, 1999:2)
atau PKn dirumuskan secara luas mencakup proses penyiapan generasi muda untuk
mengambil peran dan tanggung jawabnya sebagai warga negara, dan secara khusus,
peran pendidikan termasuk di dalamnya persekolahan, pengajaran, dan belajar
dalam proses penyiapan warganegara tersebut.
Dari pendapat di
atas, dapat dikemukakan bahwa istilah citizenship education lebih luas cakupan
pengertiannya daripada civic education. Dengan cakupan yang luas ini maka
citizenship education meliputi di dalamnya PKn dalam arti khusus (civic
education). Citizenship education sebagai proses pendidikan dalam rangka
menyiapkan warga negara muda akan hak-hak, peran dan tanggung jawabnya sebagai
warga negara, sedang civic education adalah citizenship education yang
dilakukan melalui persekolahan.
Untuk konteks di
Indonesia, citizenship education atau civic education dalam arti luas oleh
beberapa pakar diterjemahkan dengan istilah pendidikan kewarganegaraan
(Somantri, 2001; Winataputra, 2001) atau pendidikan kewargaan (Azra, 2002).
Secara terminologis, PKn diartikan sebagai pendidikan politik yang yang fokus
materinya peranan warga negara dalam kehidupan bernegara yang kesemuanya itu
diproses dalam rangka untuk membina peranan tersebut sesuai dengan ketentuan
Pancasila dan UUD 1945 agar menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh
bangsa dan negara (Cholisin, 2000 dalam Samsuri, 2011).
Dilihat secara
yuridis, kurikulum pendidikan dasar, menengah, dan tinggi wajib memuat PKn yang
dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan
dan cinta tanah air sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Dalam pasal 37 ayat
(1) dan (2) dinyatakan bahwa “kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib
memuat: a) Pendidikan Agama, b) Pendidikan Kewarganegaraan, c) Bahasa…” dan
“kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat: a) Pendidikan Agama; b) Pendidikan
Kewarganegaraan; c) Bahasa.” Dengan demikian, secara yuridis, pendidikan
kewarganegaraan memiliki landasan yang kuat untuk dibelajarkan kepada setiap
warga negara.
Sekaitan dengan
penanaman nilai-nilai Pancasila melalui pendidikan kewarganegaraan, Arief
Rahman, Duta UNESCO untuk Indonesia sekaligus pengamat pendidikan mengemukakan
bahwa penanaman ideologi Pancasila saat ini dapat diterapkan melalui Pendidikan
Kewarganegaraan (anonim, 2011). Namun lebih lanjut ia mengemukakan bahwa agar
ideologi tersebut dapat berjalan maksimal maka perlu diperhatikan proses
pembelajarannya. Dalam setiap proses pembelajaran harus meliputi tiga aspek,
yakni kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan psikomotor (pengalaman).
Begitu pula dengan penanaman ideologi Pancasila dalam pelajaran pendidikan
Kewarganegaraan, ketiga aspek tersebut harus dijalankan secara seimbang
(anonim, 2011).
Agama merupakan
pandangan dan pedoman hidup dalam kehidupan sehari-hari, termasuk hidup
berorganisasi. Pancasila juga merupakan pedoman dalam semua segi kehidupan
berbangsa dan bernegara di indonesia. Apakah itu tidak berarti meng-agama-kan
Pancasila??
Menurut saya
Pancasila dan Agama secara garis besar memiliki kesamaan, yaitu keduanya
merupakan pedoman dalam kehidupan. Tetapi secara khusus kedua pedoman ini jauh
berbeda sudut pandangnya. Pancasila adalah sumber dari gagasan mengenai wujud
masyarakan indonesia, yang menjamin kesentosaan dan memberikan kesejahteraan lahir
dan batin. Pancasila dipergunakan sebagai pegangan hidup bangsa, penjelmaan
falsafah hidup bangsa dalam pelaksanaan hidup sehari-hari. Semua tingkah laku
dan tindakan / perbuatan setiap warga negara indonesia wajib mengamalkan dan
mencerminkan pancaran Pancasila.pancasila pun adalah pedoman dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Sedangkan agama
adalah pedoman hidup kita yang khususnya berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa
dalam kehidupan sehari-hari. Harus disadari bahwa kebenaran yang dapat dicapai
oleh kita adalah kebenaran yang masih reklatif tidah absolute atau mutlak.
Tidak semua manusia mengakui bahwa dia mempunyai agaman, agama adalah wahyu
atau karunia dari sang pencipta kepada kita. Agama adalah kepercayaan,
keyakinan bahwa kita adalah makhluk yang di ciptakan oleh sang pencipta, agama
pun tidak hanya sebatasa status. Melainkan di terapkan untuk mengatur
tindakan-tindakan yang tidak baik, meluruskan yang salah menjadi yang benar.
Pendapat
yang mengatakan bahwa "menjadikan pancasila sebagai ideologi merupakan
sebuah bentuk mengagamakan pancasila" dapat dibantah karena bangsa ini
memilki kebebasan untuk menterjemahkan Pancasila itu sendiri, untuk
menyederhanakan Ideologi hanya sebagai pedoman dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Pancasila bukanlah agama karena kesederhanaan dan keumuman
nilai-nilai yang terdapat di dalamnya, sedangkan agama sangatlah kompleks untuk
diterjemahkan dan nilai-nilainya yang bersifat khusus bagi penganutnya,
sedangkan pancasila menjadi sebuah nilai-nilai umum yang berlaku bagi seluruh
rakyatIndonesia, apapun latar belakang agamanya.
Pancasila
berbicara tentang kebaikan, sedangkan agama berbicara tentang kebenaran.
Adakalanya kebaikan menjadi bagian dari kebenaran dan sebaliknya. Namun, tetap
terdapat bagian dari kebenaran yang tidak dapat tersentuh oleh nilai kebaikan,
begitupun sebaliknya, tidak semua nilai kebaikan merupakan kebenaran.
Kesimpulan : Agama digunakan sebagai tolak
ukur dalam bernegara dan berbangsa,
Sebagai Pedoman Hidup Beragama Kita,dan bersifat khusus bagipenganutnya.
Mengatur tindakan baik dan meluruskan yang salah menjadi yang benar. Namun Pancasila
digunakan sebagai pedoman Negara dan Bangsa, menjadi sebuah nilai-nilai umum yang berlaku
bagi seluruh rakyat Indonesia, Apapun Latar Belakang Agamanya.